Pada sekitar 1850, Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica)
masih banyak ditemukan di seluruh pelosok Pulau Jawa. Bagi penduduk lokal yang
tinggal di daerah pinggiran pedesaan dan pemerintah kolonial Hindia Belanda
saat itu, Harimau Jawa dianggap sebagai hama karena seringkali mencuri dan
memangsa hewan ternak seperti kambing
dan domba.
Selain itu harimau juga termasuk hewan utama yang digunakan dalam budaya Gladiator Jawa yang kerap kita kenal sebagai Rampokan Sima. Budaya ini merupakan salah satu sisi kelam dari kepunahan Harimau Jawa atau Macan Ditanah Jawa ini. Macan macan yang sengaja diburu kemudian dikumpulkan didalam sebuah arena terbuka lalu dibantai beramai ramai dalam sebuah pertunjukan.
Perburuan untuk keperluan acara ini sangat masif dilakukan. Berbagai bukti outentik yang ditinggalkan semasa era kolonial sering kali kita jumpai foto foto tua yang menggambarkan kaum pribumi sedang memanggul tubuh loreng yang
sudah terkulai mati di ujung senapan para meneer meneer Belanda.
Budaya Rampokan Matjan diperkirakan telah ada sejak abad ke 13 dulu. namun tidak semua ahli setuju karena ada beberapa pendapat yang menyatakan budaya itu baru muncul setelah abad 17 dimasa pecahnya kerajaan mataram. Salah satu tokoh Indonesia yang cukup kompeten dibidangnya mengabadikan kisah kelam harimau Jawa dalam sebuah buku yanag kita kenal dengan judul Bakda Mawi rampog.
Dalam buku ini R Kartawibawa banyak mengabadikan kisah soal Rampogan Macan ini. Buku yang cukup kuat sebagai salah satu referensi input terhadap kepunahan harimau jawa ini diterbitkan Balai Pustaka (Bale-Poestaka)
pada tahun 1923 kemudian dipindai oleh peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Djoko
Luknanto, dan kemudian diunggah di situs resmi staff UGM.
Buku ini berbahasa Jawa, sang penulis menggunakan istilah
'sima' untuk merujuk kepada kucing besar yang kadang disebut sima oleh sebagian besar masyarakat jawa, walaupun begitu karena banyaknya penyebutan untuk sang raja maka tulisan didalam buku terkadang juga menggunakan
istilah 'macan loreng'. Sang menceritkan bahwa si loreng ini pengusa hutan hutan jawa ini masih cukup sering dijumpai karena terkadang Harimau
Jawa terpaksa masuk kampung untuk memangsa ternak warga hingga akhirnya diburu kembali beramai ramai oleh warga desa. Bahkan menurut beberapa sumber valid penguasa Belanda pada saat itu memberi imbalan bagi siapa saja
yang bisa membunuh si loreng. Satu ekor harimau dihargai 10 hingga 50 Gulden.
Dalam kondisi seperti itu, acara rampogan macan dianggap menjadi hal yang sangat biasa.
Dari tadi membahas si loreng dan rampokan macan..Hmmm jujur sebenarnya apa sih budaya Rampogan Macan itu? Menurut beberapa sumber yang valid salah satunya dari buku karya R. Kartawibawa Rampogan Macan atau Sima adalah sebuah acara maut bagi para harimau. Harimau yang telah ditangkap sebelumnya dimasukan kedalam kandang kemudian dilepaskan dilapangan terbuka yang telah dipenuhi oleh ratusan bahkan ribua prajurit keraton yang memegang tombak.
Harimau harimau yang kebingungan dan ketakutan ini akan berlarian menyongsong ribuan tombak yang telah menantinya dipinggir lapangan. Biasanya sang harimau yang telah terluka akan semakin panik dan kalap hingga akan menyerang membabi buta kemudian mati diujung tombak para prajurit.
Para prajurit walaupun sebagian dari mereka benar benar merasa takut karena wibawa sang macan akan berteriak gegap gempita setelah sang raja tewas diujung tombaknya.
Hmm ironis memang Sang Raja yang tergusur dari rumahnyapun harus mati diujung tombak para predator yang hidup dibawah kendali penjajahan.
Harimau harimau yang kebingungan dan ketakutan ini akan berlarian menyongsong ribuan tombak yang telah menantinya dipinggir lapangan. Biasanya sang harimau yang telah terluka akan semakin panik dan kalap hingga akan menyerang membabi buta kemudian mati diujung tombak para prajurit.
Para prajurit walaupun sebagian dari mereka benar benar merasa takut karena wibawa sang macan akan berteriak gegap gempita setelah sang raja tewas diujung tombaknya.
Hmm ironis memang Sang Raja yang tergusur dari rumahnyapun harus mati diujung tombak para predator yang hidup dibawah kendali penjajahan.