Friday, 21 September 2018

Mengenang Harimau Jawa


Harimau Jawa atau dikenal dengan sebutan Macan Lodaya dalam bahasa latin Panthera Tigris Sondaica adalah subspesies harimau yang hidup terbatas di Pulau Jawa ( endemik ). Sayangnya satwa yang pernah menguasai belantara Jawa selama berabad abad ini telah dinyatakan punah pada awal tahun 1980 an. Kepunahan Harimau Jawa adalah pil pahit yang harus ditelan oleh generasi muda sekarang ini, dimana kita hanya bisa mendengar kisah-kisah kegagahan dan kesangaran Harimau Jawa dari orang orang tua yang telah ada di jaman Harimau Jawa masih tersisa.

Dibumi Pasundan Harimau Jawa lebih dikenal sebagi Maung, hewan yang sangat disegani bahkan sangat dihormati oleh masyarakat Sunda hingga detik ini. Hewan Perkasa ini merupakan ikonik Tanah Pasundan karena dianggap sebagai peliharaan dan jelmaan Prabu Siliwangi beserta seluruh balantentaranya yang muksa di daerah Sancang Garut.
Dijawa Tengah Harimau Jawa  disebut sebagai Sima, Si Mbah atau si Belang. Dan sempat menjadi permainan meriah  pada tahun 1800 an hingga awal tahun 1900 yang dikenal dengan nama Rampongan Sima. Acara yang kerap digelar masyarakat adat Jawa di awal abad 19 ini merupakan pertunjukan maut bagi Harimau-Harimau Jantan Jawa yang kalah kuat dari lawan tandingnya.

Bagi masyarakat Jawa Timur Hewan ini memiliki julukan lain yaitu Singo. Singo kerap di hubungkan dengan seseorang yang sakti mandraguna atau pendekar yang sangat kuat. Sementara di sudut lain wilayah timur Pulau Jawa tepatnya di kota Ponorogo Singo menjadi ikonik kesenian khas Ponorogo yang terkenal dengan nama Barongan.  Hampir seluruh wilayah Pulau Jawa menganggap Hewan ini sebagai simbol kegagahan dan keperkasaan. Simbol kejantanan dan kekuatan seseorang dalam melakoni hidup dialam dunia ini.

Karena kehebatannya serta mitos mitos yang begitu lekat bagi seluruh masyarakat di Tanah Jawa, Penjajah Belanda perlu untuk membuktikan kepada masyarakat Jawa tradisional bahwa mereka lebih kuat dan lebih hebat dari harimau dengan mengadakan perburuan dan pembantaian Harimau Jawa. Pembantaian yang dimulai sejak awal 1901 hingga awal 1940 telah sukses menjadikan pemerintah Kolonial Belanda sebagai penanggung Jawab penuh atas rantai kepunahan Harimau Jawa dimasa yang akan datang.

Semakin Hari Harimau Jawa semakin Habis. Bertambahnya populasi penduduk Jawa serta berkurangnya hutan hutan sebagai habitat mereka membuat keadaan semkin rumit. Manusia yang menjarah Lahan mereka memperparah keadaan dengan mengannggap hewan ini sebagai hama atau pemburu berdarah dingin yang harus dibasmi sampai ke akar akarnya.

Rendahnya kesadaran masyarakat serta lilitan ekonomi yang mengguncang Nusantara membuat usaha-usaha untuk melestarikan hewan gagah ini tidak  terlalu diperhatikan pada era orde lama. Setali dua uang disaat Orba berkuasapun tidak nampak keseriusan dari pemerintah untuk menyelamatkan hewan ini dari kepunahan. Terbukti jumlah populasi mereka semakin menurun, sempat tercatat sebanyak lebih kurang 50 ekor  harimau Jawa masih hidup di alam bebas pada era 1950 an dan kemudian menurun drastis menjadi tinggal 25 ekor pada era 1960an dan terus menurun hingga awal tahun 70 an, kira-kira 13 ekor berada di Taman Nasional Ujung Kulon. Sepuluh tahun kemudian angka ini kian menyusut. Pada tahun 1972, hanya ada sekitar 7 harimau yang tinggal di Taman Nasional Meru Betiri.

Harimau yang tergusur diatas tanahnya sendiri kemudia resmi menjadi legenda pada awal 1980an dimana Harimau Jawa yang tersisa 3 ekor dijagad raya ini tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pihak pihak yang berkompenten. Meru Betiri adalah saksi bisu musnahnya legenda Tanah Jawa yang gagah perkasa akibat kerakusan dan kemunafikan manusia dalam mengelola alam raya ini.